Saya
yang menyukai jazz, tentunya sangat sulit mengharapkan Justin Bieber
atau Siwon Suju dapat mengeluarkan teknik teknik vokal seperti Al
Jarreau. Begitu rumit, begitu kompleks, begitu soulful, begitu liar,
begitu dinamis, begitu tricky dan penuh improvisasi.. Ya, karena Liga
(sepakbola) Italia itu, So Jazzy..
Saya
adalah orang yang percaya takdir, bahwa ada sebuah kekuatan yang
menuliskan skenario besar pada diri tiap-tiap individu. Tapi, ada
sebagian manusia yang terlalu gegabah menentang takdirnya, ketimbang
bersabar menanti hikmah di balik maksud Sang Raja Manusia.
Begitu
juga dengan takdir yang memperjodohkan saya dengan sepakbola, dan yang
saya yakini, setiap dari kita punya kisah nya secara personal. Saya
mencintai olahraga ini lebih dari olahraga lain semisal anggar, berkuda
atau memancing. Di sepakbola, banyak filosofi yang nyatanya bisa
diterapkan dalam hidup yang sebenar-benarnya. Antara lain teamwork,
leadership, sportivitas, respect kendali ego, tetap menginjak bumi meski
tengah berjaya menang, berakrab dengan kekalahan hingga tampil necis
seperti Ilhan Mansiz.
Takdir juga yang menuliksan kenyataan jika
ketika kali pertama saya menyalakan televisi di rumah pada 8 September
1996 (5 hari setelah saya berulang tahun yang ke 12), yang muncul di
layar kaca adalah aksi solo run George Weah ketika menerima bola
langsung dari sepak pojok pemain Verona, dan layaknya mobil pejabat yang
menembus kemacetan jalur Puncak dengan diiringi voorijder, Weah dengan
mudahnya melewati kepungan para lawannya sebelum akhirnya melesakkan si
kulit bundar.
Saya percaya itu takdir, bahwa setelahnya saya
jatuh cinta pada kejeniusan Zvonimir Boban dan elegannya gaya bermain
seorang pemain bertahan bernama Paolo Maldini, itu perkara lain
setelahnya. So, momen bersejarah di layar RCTI bersama Bung Rayana
Djakasurya yang melaporkan hasil pertandingan via telepon satelit
(Livescore terlalu mainstream), dengan insert fotonya bermantel adalah
satu visual yang masih melekat hingga saat ini.
Banyak stigma
miring soal Liga Italia, yang dianggap anak sekarang sebagai kompetisi
sepakbola yang membosankan dan kurang menghibur. Terlebih ketika mereka
mengomparasi dengan hegemoni Liga Inggris atau Liga Spanyol, yang memang
menurut alibi saya memang dikonsepkan sebagai sebuah industri hiburan.
Kian pelik, karena Liga Italia tercoreng konspirasi tingkat tinggi
seperti Calciopoli dan Calcio Scommesse, hingga Liga Italia di-cap
kehilangan pamornya.
Oke, saya memang reaktif, tapi ini argumen
saya soal Liga Italia. Liga Italia membosankan? Relatif, karena menurut
saya sulit untuk memaksa seseorang menyukai musik jazz.
Jazz
adalah scene dalam musik dengan terminologi yang sulit, tactical dan
kerap mengeluarkan bebunyian yang tidak populer di telinga awam. Jazz
lahir dari kerisauan dan keriangan, karenanya lekat dengan pendekatan
emosional. Anggapan jazz adalah untuk kaum berkelas? Saya luruskan, jazz
adalah musik untuk kaum berintelejensia.
Harry Roesli
mengomentari kiprah Maestro jazz Indonesia – Bubi Chen, ‘Bayangkan
sebuah harmoni sakral dan minimalis hingga teknik super-impossion yang
modern’. Ya, deskripsi tentang Bubi Chen oleh Harry Roesli tadi itu bisa
jadi adalah analogi Liga Italia di mata saya. Sangat kecil kemungkinan
musik ala Bubi Chen bisa berakrab dengan dengan selera pasar, seperti di
acara acara musik pagi di TV saat ini.
Liga Italia adalah sebuah
medan tarung yang rumit, eksklusif dan selektif. Di atas lapangan,
mereka memperlambat tempo, melakukan gestur minta belas kasihan khas
Italia dan berjatuhan melakukan diving adalah sebagai bagian dari
permainan itu sendiri.
Di luar lapangan, para ‘Don’ turut bermain
dengan determinasi nya masing-masing. Ini adalah sebuah hal yang rumit,
betapa Edinson Cavani pernah diancam akan ‘di-kafankan’ oleh para
penguasa bawah tanah Kota Naples jika nekat meninggalkan Napoli.
Di
Liga Eropa lain, mata kepala dan mata batin saya tidak cocok dengan
pola permainan yang tergesa gesa, karena ‘Tendang dan Lari’ saya pikir
hanya cocok untuk rugby. Seperti yang dikatakan Valeriy Lobanovskyi,
sepakbola adalah sebuah dialog, Catenaccio sebagai teknik bertahan,
dilahirkan untuk menjawab kekuatan sebelumnya semisal Total Football
(kolektivitas) dan Samba (skill individu). Saya pikir, bertahan dan
menyerang adalah 2 kutub filosofi paling fundamental dalam sepakbola.
Tadi
itu soal khitah, mari sekarang kita bergeser tentang pemaparan peta
kekuatan. Liga Italia mungkin salah satu kompetisi dengan konstelasi
persaingan yang merata dengan ‘Magnificent Seven’ nya (Juventus, AC
Milan, Inter Milan, AS Roma, Lazio, Fiorentina dan AC Parma), bandingkan
dengan Liga Inggris dengan ‘Big Four’ nya, Liga Spanyol dengan
‘Teamate’ nya (who else, Real Madrid dan Barcelona), atau Liga Jerman
sebagai panggung tunggal Bayern Muecnhen (21 gelar, terdekat adalah
Borrusia Moenchengladbach dan Borrusia Dortmund dengan 5 gelar)
Dari
talenta nya, tak semua pemain bisa sukses di Italia. Para penggemar
Arsenal bolehlah sesekali melihat kiprah Dennis Bergkamp via Youtube
ketika berkarir di Italia, dan setelahnya betapa Gianfranco Zola yang
sudah ‘habis’ di Italia, masih bisa dianggap dewa oleh Publik Stamford
Bridge. Tidak bisa digeneralisir memang, tapi memang kebanyakan
demikian. Balotelli hanya anak bawang di Inter Milan dan menjadi samsak
hidup bagi Francesco Totti, namun dielu-elukan bak Ariel di Manchester
City. Jika jeli, anda bisa ulik sendiri fakta fakta lainnya.
Banyak
juga sosok inspiratif yang saya temukan di Liga Italia. Betapa sangat
sulit pula rasanya menemukan pemain dengan gaya main se-eksklusif Sang
Metronom - Andrea Pirlo. Nama yang sama adalah orang yang menaklukkan
Joe Hart di gelaran Piala Eropa kemarin lewat teknik penalti ‘Panenka’,
yang mungkin baru dialami kali pertama oleh kiper tersebut di sepanjang
karir sepakbolanya. Sulit rasanya menemukan adegan romantis seperti yang
dilakukan oleh Gabriel Omar Batistuta, bomber yang menitikan air mata,
ketika mencetak gol ke gawang cinta sejatinya - Fiorentina saat berbaju
AS Roma. Oh ya, jangan juga lupakan Si Penyerang Watak – Filippo
Inzaghi.
Soal hirarki masih bisa diperdebatkan memang. Yang bisa
saya paparkan adalah Juventus punya Allesandro Del Piero, AC Milan punya
Francesco Baresi - Paolo Maldini, Inter Milan punya Giuseppe Bergomi
dan AS Roma dengan Francesco Totti nya. Ketiganya ikon yang kebetulan
putra daerah. Dan kebetulan juga, dua pemain tersohor Manchester United –
Eric Cantona dari Prancis (kalo tidak ingin saya bilang
Sardinia-Catalan) dan Ryan Giggs adalah seorang Wales, sama seperti Ian
Rush nya Liverpool.. Arsenal memang punya Tony Adams, tapi Thierry Henry
ternyata juga dari Prancis (Guadalope-Martinique). Soal ahli strategi,
saya masih mencari sosok manajer asal Inggris yang mampu berbicara
banyak di Liga Champions? (Tenang, saya tidak ingin membicarakan Piala
Dunia dulu). Saya juga penikmat Liga Inggris, pertama kali jatuh hati
menyaksikan Paul Gascoigne bermain, sayangnya itu juga menjadi jatuh
hati saya yang terakhir.
Masih soal rekam jejak, berapa banyak
klub besar di Italia yang dimiliki taipan Rusia atau Syeikh Timur
Tengah? Berapa banyak nama stadion klub Italia yang dikomersilkan?
Ritual ‘Boxing Day’ sudah menjelaskan betapa orang Inggris ingin
menghabiskan waktu bersama keluarga untuk menonton sepakbola, karena
sepakbola adalah tontonan ala sirkus Bohemian.
Kembali kekorelasi
dengan musik jazz, Liga Italia adalah kultur, Liga Italia bukanlah
produk yang bisa diciptakan dan dihilangkan tanpa motivasi dan alasan
yang kuat seperti Tangerang Wolves (meski saya yang warga Tangerang
belum pernah melihat satu pun serigala wara wiri di Tangerang selama 28
tahun hidup saya). Anda boleh mempelari lebih lanjut kultur persaingan
AS Chievo dan Hellas Verona, dan mengapa tifosi Chievo begitu bangga
dengan julukan ‘Mussi Volanti’ atau ‘Flying Donkey’, yg secara visual
tentunya tak ada yg ingin di-cap sebagai keledai. Ya, semua semata
karena ada catatan historis nya.
Selera tidak bisa dipaksakan,
karena akan lahir secara natural. Namun hanya saja bisa diasah dan
dipertajam. Relatif sedikit yang peka dengan eksistensi Glenn Fredly
ketika masih bermain jazz progresif bersama Mus Mujiono di Funk Section.
Lalu minim pula ekspositas tentang Dr. Tompi ketika ber-fussion ria
bersama Bali Lounge. Namun begitu, kedahsyatan musikalitas keduanya tak
sungguh tak bisa dibendung. Jika pun anda punya argumen bantahan, saya
tentunya juga dengan senang hati berbicara dengan Ayah anda.
Saya
yang menyukai jazz, tentunya sangat sulit mengharapkan Justin Bieber
atau Siwon Suju dapat mengeluarkan teknik teknik vokal seperti Al
Jarreau. Begitu rumit, begitu kompleks, begitu soulful, begitu liar,
begitu dinamis, begitu tricky dan penuh improvisasi.. Ya, karena Liga
(sepakbola) Italia itu ‘So Jazzy..’
Artikel Bolatotal dari @AndicaHaradi